Sabtu, 15 September 2012

Ketika Harapan itu Kosong



Hari jumat, setibanya aku pulang dari kampus mama tiba-tiba mengatakan kalau mama ada rencana untuk memeriksakan lagi skoliosisku.  Sontak aku bingung, ajakan mama itu tiba-tiba begitu saja. Padahal sudah agak lama aku tak pernah lagi mengutarakan kesakitan ke mama. Aku baik-baik aja tak ada keluhan. Yang aku tahu, rencana mama itu setelah mama membaca salah satu note di facebook yang nyeritain kisah perjalanan operasi skolioser, maklum mama juga selalu mencari informasi yang berkaitan sama skoliosisku ini. Sempat mama nanya aku soal kesiapan operasi, tak ada kata yang keluar sepatahpun aku hanya menunduk. Mama bilang “mama siap jika itu akan membuat teteh sembuh.” Aku tak menghiraukannya, karena aku pikir aku udah membaik dan tak perlu operasi.  Setelah itu, mama menelpon Mba Trie, beliau merupakan pemerhati skolioser. Mama nyeritain gimana kondisi aku, juga minta saran langkah apa yang harus dilakuin. Mba Trie nyaranin agar aku dibawa ke dokter spine, dokter spesialis tulang belakang.

Minggu malam, mama pun tiba-tiba lagi mengajak aku untuk bertemu dokter Husodo. Aku sempat tak setuju karena saat itu tugas kuliah sangat menumpuk. Tapi setelah mama bujuk, oke lah aku mau. Senin pukul 16.00 kami menuju Garut, butuh waktu 2 jam an untuk sampai ke tempat itu. Sesampainya disana kami bertemu Teh Linda, dia salah satu skolioser Garut. Oh iya dia yang udah banyak membantu kami hingga sampai ke tempat itu. Sembari menunggu dokter, kami berbagi cerita. Teh Linda nyeritain perjalanan skoliosisnya hingga dia berada di meja operasi. Subhanallah sekali, banyak hikmah  dan motivasi yang dapat diambil dari kisahnya. Teh Linda pun berhasil memberi tahu bapak lebih detail apa itu skoliosis.

Setelah 2 jam menunggu, dokter pun datang. Seperti biasa dokter beranamnesa, dan dengan muka tenang aku yang menjawab “Skoliosis, dok.” Kemudian dokter meminta aku untuk melakukan gerakan ruku dan membuka brace.
“Gede banget ya”, ucap beliau singkat. Mulai aku gak enak hati, tapi aku tetap berbaik sangka. Selanjutnya dokter meminta hasil rontgen dan beliau mengukur ulang. Hampir sepuluh menit kami menunggu dan melihat dokter membolak-balikan alat ukur.
“Sebelumnya berapa derajat?”
“Sebelum memakai brace 40 (thoraks) sama 39 (lumbal), setelah memakai brace 6 bulan jadi 32 sama 28.”
Seperti kebingungan, lalu dokter mengukur ulang. Dengan sangat perlahan-lahan, beliau berkata “Menurut saya itu salah, sebelum pakai brace 45 sma 40, dan setelah memakai brace jadi 50(lumbal).” Sementara bagian thoraks tidak terbaca karena hasil rontgen kurang baik.
LEMAS. Wajah mama merah lalu sedikit air matanya keluar, beliau mungkin tahu arti dari angka 50 itu. Astagfhirullah...Sebenarnya aku pun tak tahan, namun saat itu aku tersenyum sangat lebar seperti yang sedang bahagia, aku berusaha untuk menguatkan mama dan meyakinkan aku tak perlu ditangisi. Mama sempat  bilang bahwa dokter itu keliru, mama minta dokter untuk mengukur ulang.
“Jadi brace itu gak ada pengaruhnya, dok?”
“Iya bu, skoliosis si neng ga bisa ketahan sama brace.” Jawab dokter.
“Terus langkah apa yang harus kami lakukan.”
“Ya pasang pen di dalem.” Jawaban yang kalem tapi dalem.
 Aku sudah tak berani membayangkan bagaimana hancurnya perasaan orang tua.

Minggu, 02 September 2012

Tersadar

Postingan ini sih sebenarnya lebih ke jawaban penenang dalam “kesendirian” aku (tidak punya pacar) hehe....
Pacaran. Suatu hal yang rasanya sudah jadi tindakan “trend” di sebagian kalangan remaja. Bahkan tidak hanya di kalangan remaja saja, anak-anak SD yang istilahnya masih ingusan dan dinina boboin mama, banyak yang sudah berpacaran. Miris kan ??
Sudah punya berapa ?” “Kapan nih bawa aa nya?” “Kenalin dong pacarnya orang mana!” ...  
Aku yang selalu dibuat terdiam dan hanya tersenyum saat orang-orang melontarkan kata-kata itu. Atau jika kata itu terlontar dari mulut mama, aku selalu menjawab “nanti”. Saat itu, aku terlalu sulit menerima lelaki untuk status “pacar”. Aku memang bisa dikatakan tipe cewe pemilih, tapi tidak keterlaluan sih. Semua itu karena aku bercermin dari cerita teman-teman yang diselingkuhin lah, dikerasin pacar lah, over protectiv lah. Tak hanya dari cerita orang pacaran, aku bercermin dari mereka yang sudah berkeluarga yang tidak sedikit ada penyesalan karena mereka terlalu terburu-buru dan tak berhati-hati memilih pasangan.
Tak menampik, aku pun sudah pernah pacaran. Ya meski  jarang banget ada waktu bertemu, komunikasi pun seringnya lewat media komunikasi dan itupun ga setiap detik, menit,  jam, kita ada waktunya. Sebenarnya sih kalau dipikir-pikir ga ada sesuatu yang mencolok untuk bedain teman dan pacar selain di status saja. Buktinya selama pacaran aku pun berkomunikasi seperti halnya aku bersama teman-teman yang lain. Paling ya beda perhatiannya aja, misal “udah makan belum” “udah pulang?” “udah shalat?”.. (Kaya punya pengawal aja ya :D) Memang, alibi punya pacar yang katanya “penyemangat belajar”  itu aku rasakan. Tapi, buyarnya konsentrasi juga aku rasakan. Betapa tidak, dikit-dikit kangen, dikit-dikit inget, dikit-dikit terbayang  (Lebay yah kalau diingat? :D). Atas banyak pertimbangan akhirnya status pacaran hanya bertahan beberapa bulan dan kami putuskan untuk kembali menjadi teman. Setelah itu, aku menghabiskan waktu  berkomunikasi  hanya dengan keluarga dan teman-teman.
Ditengah aku yang terkadang merasakan kesepian dan  kata orang sedang berstatus “jomblo”, aku menemukan petuah-petuah yang membuat aku merasa tersadar dan termenung. Petuah-petuah tersebut aku dapat dari tweetnya ustadz @felixsiauw . Berikut isinya :