….“Hey kamu yang tegak dong”
…..“Siapa pak, saya?”
…..“Iya kamu yang tegak” (dengan muka tegang)
…..“Udah tegak ko pak”
…..”Masih keliatan bungkuk!!!!!”
Percakapan itu yang menjadi awal cerita skoliosisku…
Saat itu, SMP ku akan mengikuti LTUB tingkat kabupaten, sepulang sekolah kami harus latihan. Pelatihnya itu super duper tegas, bungkuk sedikitpun langsung ditegur. Aku salah satunya orang yang sering sekali dapet teguran gara-gara menurut beliau posisi badan aku selalu bungkuk. Walaupun sama sekali ga ngerasa, tapi aku selalu diam seolah-olah mengiyakan apa yang pelatih itu katakan. Tak ada pikiran apa-apa, saat itu aku hanya berusaha untuk membenarkan posisi tubuh agar tegak…
Hari minggu, aku mengajak teman-teman kerja kelompok di rumah karena saat itu detik-detik kami menjelang UAN.
….”Vy, ko punggung kamu nonjol sebelah sih?” celetuk salah seorang teman
….” Ngga laah, perasaanmu kali“ jawabku singkat
Seolah-olah aku cuek dengan pertanyaan temanku tadi, padahal itulah kali pertamanya aku berfikir. Setelah mereka pulang, lantas aku langsung meminta mama untuk mengecek punggungku. Mama pun membenarkan, ternyata memang ada yang menonjol. Bapak telah mengetahui hal itu, dan langsung menyuruh untuk diperiksa.
Keesokan harinya, aku pun diantar mama ke RS. Kami bertemu dengan dr.Soenaryo, satu-satunya dokter orthopedi di kotaku. Tak panjang lebar mama mengutarakan keluhan, kemudian secepat itu dokter mengatakan “oooh … ini Scoliosis”. Tak ada ekspresi, wajah kami datar, kami hanya terdiam. Bukan karena syok, tapi kami memang belum paham betul apa itu scoliosis. Aku pernah sempat dengar kata itu pas pelajaran biologi, itu pun hanya sekilas.
Kurva lengkunganku saat itu 27 derajat. Dokter merujuk ke RSHS, menyarankan agar aku pakai brace (semacam penyangga). Namun sayangnya, bapak tak menuruti apa kata dokter. Bukannya pergi ke RSHS, bapak justru sibuk mencari pengobatan alternatif.